Tipe Birokrasi Klasik
Birokrasi Indonesia masa kerajaan tradisional
Pada massanya de Gournay, birokrasi terkesan negatif dan
menyulitkan dalam melayani masyarakat, karena pada waktu itu para birokrat
seperti pejabat, sekretaris, inspektur, dan juru tulis lebih dipentingkan untuk
melayani raja/penguasa, bukan untuk melayani kepentingan umum. Weber menekankan
perlunya legitimasi sebagai dasar sistem otoritas, serta bagaimana ciri-ciri
staf administrasi yang sesuai dengan konsep birokrasi menurut Weber.
Birokrasi Masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
Pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah dikenal konsep birokrasi
serta pembagian tugas. Namun demikian raja masih dianggap yang paling berkuasa
dan menentukan segala kekuasaan secara mutlak masih berada di tangan raja.
Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit terdiri dari pemerintah pusat dan
daerah. Masing-masing kerajaan daerah diberi otonomi penuh dan memiliki
perangkat pemerintahan yang lengkap, namun terdapat kewajiban-kewajiban
tertentu kepada pemerintah.
Birokrasi pada Masa Kerajaan Kutai dan Mataram Kerajaan
Kutai Kertanegara ing Martapura merupakan gabungan antara kerajaan Kertanegara
dan Kutai Martapura Keman (Mulawarman). Punggawa diserahi tugas untuk
menyelenggarakan pemerintahan daerah, di mana pengawasannya ditugaskan kepada
Menteri. Sifat pemerintahan tetap sentralistis dan terpusat di tangan raja.
Sedangkan pada masa Kerajaan Mataram, raja dibantu oleh
seorang Patih dan para penasihat. Birokrasi pemerintahan diserahkan kepada
Wedana, untuk mengawasi masalah keraton, baik yang menyangkut keuangan,
keprajuritan, dan pengadilan. Untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Mataram
menggunakan cara kekuasaan, memaksa orang-orang kuat untuk tinggal di keraton,
dan cara perkawinan.
Birokrasi masa pemerintahan hindia belanda Tidak semua orang
dapat menduduki jabatan sebagai pangreh praja sehingga seseorang perlu magang
(pengabdian yang belum digaji) kepada seorang priyayi atasan/pejabat. Dari
magang tersebut terjadi hubungan patron-klien, di mana para pemagang akan sabar
menunggu sampai diangkat sebagai pangreh praja di mana kalau perlu mereka akan
menjilat, cari muka, dan sebagainya. Jika oleh priyayi atau atasan dinilai para
pemagang itu tidak pantas jadi priyayi, ya tidak akan diangkat. Dalam hubungan
bawahan-atasan/priyayi maka tampak ada penghormatan yang berlebihan, misalnya
jika priyayi rendahan berkunjung ke pejabat yang lebih tinggi maka harus pakai
pakaian adat, sendalnya dilepas, dan sebagainya. Atribut kepangkatan sangat
ditonjolkan, misalnya berkunjung ke suatu tempat disertai pengiring lengkap
dengan payungnya. Lambat laun banyak priyayi muda yang mendapatkan pendidikan
lebih baik walaupun dengan didikan ala Eropa, misalnya tinggal bersama keluarga
Eropa murni, sekolah di sekolah Belanda. Walaupun ada ketakutan dari pihak
Belanda tentang pejabat pribumi yang terlalu maju sehingga akan berani dengan
pejabat Belanda.
Menyangkut birokrasi sebagai bagian dari kebudayaan,
Kuntowijoyo (1991:328) mengemukakan bahwa birokrasi adalah sebuah struktur teknis dalam masyarakat
yang mempunyai kaitan erat dengan struktur sosial dan struktur budaya. Oleh
karena itu, penyelenggaraan kekuasaan dan pelayanan sering tidak terlepas dari
komposisi sosial yang masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, sehingga
sering birokrasi hanya melayani lapisan masyarakat dominan. Selain itu, sistem
nilai, pengetahuan, dan sistem simbol
masyarakat juga mempengaruhi
penyelenggaraan kekuasaan karena pelaksanaan kekuasaan hanya dapat
terjadi jika ada kesediaan budaya masyarakatnya untuk menerima kehadirannya.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan budaya birokrasi dalam hal ini
adalah kedudukan birokrasi terhadap
struktur sosial dan struktur budaya pada kurun waktu tertentu
(Kuntowijoyo, 1991:328).
Jika menoleh pada masa pemerintahan raja-raja di Indonesia
khususnya pada raja-raja Jawa, maka struktur masyarakatnya terdiri dari lungguh, yakni orang-orang yang
berjasa kepada raja, sentana yakni
keluarga raja dan abdi dalem yakni mereka yang membantu raja dalam
penyelenggaraan kekuasaan. Dalam birokrasi yang sebenarnya, abdi dalem adalah
birokrasi kerajaan karena mereka yang menjadi perantara dengan rajanya. Oleh
karena itu, kedudukan birokrasi sebagai abdi dalem yang melayani raja dalam
hubungan atas bawah (top-down) yang bersifat konsentris membuat kedudukan
birokrasi dalam negara patrimonial hanya merupakan kepanjangan tangan dari
kekuasaan raja. Birokrasi tidak melayani masyarakatnya, tetapi justru melayani
kepentingan raja. Pada akhirnya, para abdi dalem semacam ini kemudian
berkembang menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang berada dan terpisah dari
masyarakat pada umumnya. Sebagai penyelenggara kekuasaan mereka termasuk dalam
elit penguasa yang mempunyai orientasi ke atas (penguasa), lebih-lebih daripada
kebawah kepada kepentingan masyarakat kecil.
Sistem seperti ini banyak terjadi pada birokrasi kerajaan
patrimonial yang secara rinci dapat ditemukan dalam birokrasi kerajaan Jawa
sejak Majapahit hingga abad ke-20 pada kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Budaya birokrasi sebagai abdi dalem ini tentu saja sangat membekas dalam sistem
nilai dan sistem pengetahuan masyarakat (knowledge and value of sisyem)
sehingga sekalipun perubahan-perubahan sudah terjadi dapat saja budaya itu
masih sangat melekat. Masa Pulau Jawa bersentuhan dengan kolonialisme terutama
setelah Diponegoro ditaklukkan pada tahun 1830, maka pemerintah Belanda
mengganti peran abdi dalem menjadi priyayi yakni ambtenaar, yaitu orang-orang
pribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial dengan mendapatkan gaji
dan memiliki kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Berbeda dengan abdi
Tipe ideal Birokrasi dan Ciri-ciri Birokrasi menurut Max
Weber
Menurut Weber kedudukan pejabat merupakan tipe penanan
sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama,
seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas
dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh
orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Dalam hal ini, pejabat
memiliki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, sedang Weber secara modern
mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi. Tetapi pejabat
memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja yaitu pejabat memiliki
otoritas.
Pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah
sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup
dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya sendiri dan
fungsinya sebagai administrasi).
Ciri Birokrasi
Ciri pokok pejabat birokrasi adalah orang yang diangkat,
bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah hampir sampai pada
definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi. Weber memandang Birokrasi
sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi
dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial
(Sarundajang, 2003).
Berikut Ini Birokrasi Pemerintahan Menurut Max Weber Dan
Hegel
Birokrasi Weberian selama ini di artikan sebagai fungsi
suatu biro. Suatu biro merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian
tujuan yang telah ditetapkan. Birokrasi
merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan –tujuan tersebut. Seorang pejabat
birokrasi tidak seyogyanya menetapkan tujuan-tujuan yang ingin di capai tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi
politik dan menjadi wewenang dari pejabat politik yang mrnjad masternya. Model
birokrasi weberian yang selama ini di pahami merupakan sebuah mesin yang
disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan
demikian setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan
pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi
(each individual civil servant is a cog in the machine with no personally
interests).
Dalam kaitan ini maka setiap pejabat tik pemerintah tidak
mempunyai tanggung jawab publik kecuali pada bidang tugas dan tanggung jawab
yang di bebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai mesin
itu dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah
ditetapkan,maka akuntabilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan.
Pemikiran seperti ini menjadikan birokrasi pemerintah
bertindak sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan klas atau
kelompok tertentu. Negara bisa mewujudkan tujuan-tujuannya melalui mesin birokrasi
yang di jalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Aspek netralitas dari fungsi
birokrasi pemerintah dalam pemikiran weber di kenal sebagai konsep knservatif
dari para pemikir di zamannya. Weber hanya ingin lebih meletakkan birokrasi itu
sebagai sebuah mesin dari pada dilihat sebagai suatu organisme yang mempunyai
kontribusi terhadap kebulatan organik sebuah negara.
Pandangan para ilmuan Jerman semasa hidupnya Max Weber bahwa
birokrasi itu di bentuk independent dari kekuatan politik. Ia berada diluar
atau diatas aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain.
Birokrasi pemerintahan diposisikan sebagai kekuatan yang netral. Netralitas
birokrasi diartikan bukan dalam hal lebih condong menjalankan kebijakan atau
perintah dari kekuatan politik yang sedang memerintah sebagai masternya pada
saat tertentu, sementara kepada kekuatan politik lainya yang sekarang
pemerintah tidak mau. Akan tetapi lebih diutamakan kepada kepentingan negara
dan rakyat secara keseluruhan. Sehingga siapa pun kekuatan politik yang
memerintah birokrat dan birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.
Model birokrasi klasik
Apabila ada kenyataan yang dominan dalam praktek
administrasi negara amerika, hal itu adalah teguhnya dan awetnya model
birokrasi klasik. Model birokrasi itu mempunyai dua komponen dasar yang pertama
adalah struktur atau kerangka suatu organisasi. Yang kedua adalah cara-cara
yang digunakan untuk mengatur orang-orang dan pekerjaan dalam kerangka
organisasi.
Tipe Max Weber adalah titik mula yang umum untuk setiap
pemahaman aspek-aspek struktural birokrasi. Dalam pemerintah nasional hirarki
dan birokrasi terlihat asyik dengan bagian-bagian organisasi dan penempatan
orang-orang kedalam bagan-bagan organisasi itu bersamaan dengan pengembangan
deskripsi pekerjaan, klasifikasi personalia dan skala gaji. Weber juga
memikirkan dalam deskripsi hierarkinya beberapa pola perilaku yang ditunjukkan
oleh mereka yang berada dalam organisasi-organisasi skalar, seperti
kecenderungan untuk merawat rekaman-rekaman secara rapi, untuk mengusahakan
keseragaman dalam perintah dan semacamnya.
Dalam aspek majerial dan mikro, model birokrasi klasik
bermula dengan manajemen ilmiah dari Frederik Winslow Taylor dan dapat dilacak
dari pengertian permulaannya tentang pemahaman produktivitas lewat studi-studi
gerak dan waktu sampai pada uasaha-usahasekarang ini dalam mengukur
produktivitas.
Dalam model birokrasi klasik, struktural dan manajemen
mempunyai hubungan yang erat. Ungkapan yang paling jelas tentang kaitan itu
terlihat dalam literatur tentang organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar