Senin, 06 Januari 2014

Harian haluan.com


BAHASA MINANG TERANCAM PUNAH?


Selasa, 07 Januari 2014 02:29
Baru-baru ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LI PI) merilis ha­sil penelitian mereka ten­tang bahasa daerah yang terancam punah. Menurut LIPI seperti dikutip Antara edisi Selasa 10 Desember 2013, hanya tersisa sem­bilan dari beratus-ratus bahasa daerah yang akan bertahan. Sisanya, kehi­langan penutur dan teranc­am punah. Sembilan bahasa yang akan bertahan terse­but adalah Bahasa Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Sasak.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, Endang Turmudi di Jakarta, secara konseptual bahasa akan dikatakan bertahan apabila memiliki sistem penulisan atau aksara sebagai fasilitas untuk merekam bahasa itu dalam media selain lisan.
Sebagai orang Minang, sejujurnya saja saya sedikit sedih – tepatnya kecewa – dengan hasil penelitian LIPI tersebut.  Kok bisa ya, Bahasa Minang yang nota­bene memiliki penutur sangat banyak, bisa tidak termasuk dalam bahasa yang bertahan dari kepu­nahan?  Rasa-rasanya  di bumi ini, tidak ada yang tidak dihuni orang Minang?  Orang Minang itu  terkenal dengan budaya meran­taunya, sehingga hampir semua tempat di planet bumi ini didiami orang Minang. Bahkan ada adagium yang menyebut, andaikan di bulan ada kehidupan dan dihuni manusia, niscaya rumah makan Padang juga akan berdiri di sana.
Penelitian yang juga diposting di laman yahoo ini, mendapat tanggapan bera­gam dari pembaca. Komen­tar emosional terlihat dari etnis yang bahasa daerahnya tidak termasuk dalam kate­gori bertahan. Wajar dan manusiawi memang! Tapi  bila kita renungkan dan teliti lebih jauh, hasil penelitian lembaga ini cukup beralasan dan mendekati kebenaran.  Secara kasat mata, tanpa melakukan penelitian seperti LIPI pun, sebenarnya kita sudah membaca gejala ke arah itu.
Fenomena kepunahan Bahasa Minang sebagai salah satu bahasa daerah, sudah berada di ambang mata.  Bahasa Minang mulai ditinggalkan oleh para penuturnya sendiri. Memang  harus diakui, orang Minang itu tersebar di berbagai daerah di wilayah nusantara ini, bahkan hingga ke mancanegara menembus lima benua.
Tapi masalahnya, orang Minang itu mulai kehilangan jati diri dan melupakan bahasa Minang sebagai bahasa ibu. Faktanya, hari ini, banyak orang Minang baik di perantauan maupun yang tinggal di Sumatera Barat, malu menggunakan bahasa Minang. Dengan kata lain, berusaha menyem­bunyikan identitas ke­minangannya.
Lihat saja, panggilan uda dan uni, mulai ditinggalkan berganti abang dan kakak atau mas dan mbak. Orang Minang hari ini, juga merasa tidak perlu lagi menjadikan bahasa Minang sebagai bahasa ibu dalam keluarganya. Tidak salah memang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yang dikenal sang anak semenjak dini. Hanya saja, untuk bahasa kedua, jangan disambung lagi dengan bahasa internasional. Alangkah lebih bijak, bila yang dikenalkan adalah bahasa daerah.
Dalam lingkup pergaulan yang lebih luas justru tambah parah lagi. Bahasa Minang terlindas oleh Ba­hasa Indonesia yang ter­kadang diselipi pula dengan Bahasa Inggris. Apalagi jika sudah keluar dari Padang (baca: Sumatera Barat). Ada perasaan malu dan enggan jika harus menggunakan bahasa Minang. Jangankan bahasa Minang, berbahasa Indonesia tapi masih keliha­tan logat Padang-nya, sering  menjadi bahan olokan.
Seorang teman pernah bercerita, saat bertemu dengan salah satu pejabat Sumatera Barat di Jakarta dalam pertemuan informal – tidak sengaja – tapi sang pejabat terus saja bicara dalam bahasa Indonesia, tanpa sekalipun meng­gunakan bahasa Minang. Padahal menurutnya, ketika bertemu di Padang, sang pejabat berkomunikasi pakai bahasa Minang. Bisa jadi, si pejabat ingin kelihatan keren.
Alih-alih bangga menjadi orang Minang dan berbahasa daerah, justru kita terpuruk pada rasa tidak percaya diri yang begitu kental. Oleh karena itu, meski memiliki penutur yang sangat banyak tapi bahasa Minang dipre­diksi tidak akan bertahan. Selain kehilangan penutur, bahasa Minang hanya men­jadi perlambang iden­titas semata. Menjadi pajangan tanpa makna. Digunakan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan, upacara penyelenggaraan jenazah atau seremonial dan festival lainnya.
Sejauh ini, tang­gung­jawab keber­lang­sungan bahasa daerah (Minang) hanya dibebankan pada pihak-pihak tertentu, seperti pemerintah, budayawan atau pemerhati sastra atau sejarahwan.  Kita, nyaris tidak peduli, apakah bahasa Minang akan punah atau hilang dari peredaran. Sehingga, seperti yang dikatakan LIPI, tidak ada sistem aksara atau penul­isan yang akan mere­kam bahasa tersebut di kemudian hari.
Di sisi lain, pelajaran dan sastra Minang juga kurang diminati oleh generasi muda masa kini. Sastra daerah menjadi pilihan nomor sekian, setelah mentok atau tidak lulus di program studi impian. Selain kecilnya peluang kerja dengan memi­lih jurusan tersebut, gengsi dan prestise juga menjadi alasan. Sementara, dulu yang katanya ada pelajaran adat dan budaya alam minangkabau (BAM), juga hanya sekedar pemenuhan kebutuhan kurikulum lokal. Pelajaran tersebut menjadi tersia-sia, karena siswa tidak tertarik dengan materi tersebut.
Pembiaran yang terus berlanjut, disadari atau tidak, disebabkan oleh sistem atau bukan, pada akhirnya membuat semua orang lengah. Kita baru tersentak atau mungkin merasa kehi­langan setelah ada bangsa atau etnis lain yang mengk­laim itu kepunyaan mereka.
Karenanya, kondisi ini menjadi tanggungjawab kita bersama. Tidak perlu mu­luk-muluk, mulai saja dari diri pribadi, dengan men­jadikan Bahasa Minang sebagai bahasa ibu. Tidak malu dan gengsi berbahasa Minang atau menggunakan simbol-simbol terkait. Perca­yalah, terus memupuk dan melestarikan bahasa daerah bukan berarti menum­buhkan sikap primodialisme berlebihan. Sebaliknya, justru akan memperkaya seni dan budaya bangsa ini! Bukankah NKRI terbentuk dari keberagaman suku dan bahasa?

MIRAWATI UNIANG

Minggu, 05 Januari 2014

Kali ini Gue Posting pengalaman gue , yah kalau mau baca juga sihhh hha,Pengalaman memalukan . :D

     Pada suatu kala,di awal perkuliahan. minggu minggu pertama atau kedua kuliah lah..Tentu dong,gue udah jadi senior gitu..tapi masih senior kacangan haha. dan jelas dong ada junior junior yang masih polos dan lugu .Nah, Pada kala itu KRIDA pun di mulai , Krida itu tmpt pengasahan minat bakat mahasiswa baru gitu. ngerti kan? iya in aja ==" . Nah pada saat krida itu junior di wajibkan minta tanda tangan senior senior gitu,Nah,Pada kala itu gue lagi di kelas mau mulai perkuliahan nunggu dosen gitulah, nah si junior ini pun masuk dengan tampang polosnya . ntah polos ntah gag ya ha ha .nah,dia pun mnta tanda tangan guee."bg Boleh minta tanda tangan nya" trus gue jawab" Butuh tanda tangan? butuh cinta gag ? ," haha gue berlagag berani,padahal jantung sdh kayag genderang perang di dalamtu ==" dan temen temen gue sibuk manyorak manyorak se ke aku haha tau lah gue fans fans gue kan banyak haha. yee,,lanjut ke junior td , dan gue pun membubuhkan tanda tgn gue dan gag lupa nulis nmr hape gue, berharap dia sms gue sih hahaha.SOMPLAK :D
   Lalu, dia pun pergi dan bilang makasih sma gue,dan gue pun jawab "sama-sama,cinta bg jgn dilupakan yah" haha,parah . Waktu demi waktu gue slalu mandang dia dari kejauahan, kaya lagi Sheila on seben yg " pemuja rahasia " gitu lah , tpi gue lg gag berani deketin dia. takut gue gag di CAP jadi Pria Modus . haha
Di kampus gue sering lihat dia ,begitupun mungkindia, tp dia tdk sdikit pun nyapa gue . Parah gag ? haha mungkin krna dia Lupa? mana mungkin lupa sama org kece gini,atau karena dia takut ? kayag hantu aja gue kalau gitu . Atau karena dia malu? kenapa malu kan makai baju haha . kalau gue yg nyapa dluan gengsi donggg.. Senior gitu :D . Palingan gue hanya berikan senyuman terindah gue . Dan smpai saat ini pun gue msh mengikuti perkembanganya. dan berharap dia dpt mengisi hati gue yang hampa ini . haha HAMPA bagai. Lu kira luar angkasa apa. Sampai jupa . TO BE CONTINUED masih panjang