Harian haluan.com
BAHASA MINANG TERANCAM PUNAH? |
Selasa, 07 Januari 2014 02:29 |
Baru-baru ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LI PI) merilis hasil penelitian mereka tentang bahasa daerah yang terancam punah. Menurut LIPI seperti dikutip Antara edisi Selasa 10 Desember 2013, hanya tersisa sembilan dari beratus-ratus bahasa daerah yang akan bertahan. Sisanya, kehilangan penutur dan terancam punah. Sembilan bahasa yang akan bertahan tersebut adalah Bahasa Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Sasak.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, Endang Turmudi di Jakarta, secara konseptual bahasa akan dikatakan bertahan apabila memiliki sistem penulisan atau aksara sebagai fasilitas untuk merekam bahasa itu dalam media selain lisan.
Sebagai orang Minang, sejujurnya saja saya sedikit sedih – tepatnya kecewa – dengan hasil penelitian LIPI tersebut. Kok bisa ya, Bahasa Minang yang notabene memiliki penutur sangat banyak, bisa tidak termasuk dalam bahasa yang bertahan dari kepunahan? Rasa-rasanya di bumi ini, tidak ada yang tidak dihuni orang Minang? Orang Minang itu terkenal dengan budaya merantaunya, sehingga hampir semua tempat di planet bumi ini didiami orang Minang. Bahkan ada adagium yang menyebut, andaikan di bulan ada kehidupan dan dihuni manusia, niscaya rumah makan Padang juga akan berdiri di sana.
Penelitian yang juga diposting di laman yahoo ini, mendapat tanggapan beragam dari pembaca. Komentar emosional terlihat dari etnis yang bahasa daerahnya tidak termasuk dalam kategori bertahan. Wajar dan manusiawi memang! Tapi bila kita renungkan dan teliti lebih jauh, hasil penelitian lembaga ini cukup beralasan dan mendekati kebenaran. Secara kasat mata, tanpa melakukan penelitian seperti LIPI pun, sebenarnya kita sudah membaca gejala ke arah itu.
Fenomena kepunahan Bahasa Minang sebagai salah satu bahasa daerah, sudah berada di ambang mata. Bahasa Minang mulai ditinggalkan oleh para penuturnya sendiri. Memang harus diakui, orang Minang itu tersebar di berbagai daerah di wilayah nusantara ini, bahkan hingga ke mancanegara menembus lima benua.
Tapi masalahnya, orang Minang itu mulai kehilangan jati diri dan melupakan bahasa Minang sebagai bahasa ibu. Faktanya, hari ini, banyak orang Minang baik di perantauan maupun yang tinggal di Sumatera Barat, malu menggunakan bahasa Minang. Dengan kata lain, berusaha menyembunyikan identitas keminangannya.
Lihat saja, panggilan uda dan uni, mulai ditinggalkan berganti abang dan kakak atau mas dan mbak. Orang Minang hari ini, juga merasa tidak perlu lagi menjadikan bahasa Minang sebagai bahasa ibu dalam keluarganya. Tidak salah memang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yang dikenal sang anak semenjak dini. Hanya saja, untuk bahasa kedua, jangan disambung lagi dengan bahasa internasional. Alangkah lebih bijak, bila yang dikenalkan adalah bahasa daerah.
Dalam lingkup pergaulan yang lebih luas justru tambah parah lagi. Bahasa Minang terlindas oleh Bahasa Indonesia yang terkadang diselipi pula dengan Bahasa Inggris. Apalagi jika sudah keluar dari Padang (baca: Sumatera Barat). Ada perasaan malu dan enggan jika harus menggunakan bahasa Minang. Jangankan bahasa Minang, berbahasa Indonesia tapi masih kelihatan logat Padang-nya, sering menjadi bahan olokan.
Seorang teman pernah bercerita, saat bertemu dengan salah satu pejabat Sumatera Barat di Jakarta dalam pertemuan informal – tidak sengaja – tapi sang pejabat terus saja bicara dalam bahasa Indonesia, tanpa sekalipun menggunakan bahasa Minang. Padahal menurutnya, ketika bertemu di Padang, sang pejabat berkomunikasi pakai bahasa Minang. Bisa jadi, si pejabat ingin kelihatan keren.
Alih-alih bangga menjadi orang Minang dan berbahasa daerah, justru kita terpuruk pada rasa tidak percaya diri yang begitu kental. Oleh karena itu, meski memiliki penutur yang sangat banyak tapi bahasa Minang diprediksi tidak akan bertahan. Selain kehilangan penutur, bahasa Minang hanya menjadi perlambang identitas semata. Menjadi pajangan tanpa makna. Digunakan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan, upacara penyelenggaraan jenazah atau seremonial dan festival lainnya.
Sejauh ini, tanggungjawab keberlangsungan bahasa daerah (Minang) hanya dibebankan pada pihak-pihak tertentu, seperti pemerintah, budayawan atau pemerhati sastra atau sejarahwan. Kita, nyaris tidak peduli, apakah bahasa Minang akan punah atau hilang dari peredaran. Sehingga, seperti yang dikatakan LIPI, tidak ada sistem aksara atau penulisan yang akan merekam bahasa tersebut di kemudian hari.
Di sisi lain, pelajaran dan sastra Minang juga kurang diminati oleh generasi muda masa kini. Sastra daerah menjadi pilihan nomor sekian, setelah mentok atau tidak lulus di program studi impian. Selain kecilnya peluang kerja dengan memilih jurusan tersebut, gengsi dan prestise juga menjadi alasan. Sementara, dulu yang katanya ada pelajaran adat dan budaya alam minangkabau (BAM), juga hanya sekedar pemenuhan kebutuhan kurikulum lokal. Pelajaran tersebut menjadi tersia-sia, karena siswa tidak tertarik dengan materi tersebut.
Pembiaran yang terus berlanjut, disadari atau tidak, disebabkan oleh sistem atau bukan, pada akhirnya membuat semua orang lengah. Kita baru tersentak atau mungkin merasa kehilangan setelah ada bangsa atau etnis lain yang mengklaim itu kepunyaan mereka.
Karenanya, kondisi ini menjadi tanggungjawab kita bersama. Tidak perlu muluk-muluk, mulai saja dari diri pribadi, dengan menjadikan Bahasa Minang sebagai bahasa ibu. Tidak malu dan gengsi berbahasa Minang atau menggunakan simbol-simbol terkait. Percayalah, terus memupuk dan melestarikan bahasa daerah bukan berarti menumbuhkan sikap primodialisme berlebihan. Sebaliknya, justru akan memperkaya seni dan budaya bangsa ini! Bukankah NKRI terbentuk dari keberagaman suku dan bahasa?
MIRAWATI UNIANG
|